Atikah Triani
29 Mei 2024
Beberapa tahun terakhir teknologi Synthetic Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan sudah santer terdengar sampai ke pelosok negeri, AI kini menjadi aktor kunci berbagai inovasi terkini kehidupan manusia. Secara singkat kecerdasan buatan adalah sebuah program komputer yang mampu melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, yang mana keputusan yang diambil dalam perannya dianalisis berdasarkan informasi yang sudah ada dalam sistem. Kecerdasan buatan didesain berpikir layaknya manusia, proses yang terjadi dalamnya mirip dengan bagaimana orang melakukan analisis sebelum mengambil keputusan, ia bisa mengenali pola suara, gambar atau knowledge apapun yang diberikan kepadanya. Hal ini memungkinkan mesin untuk beroperasi mandiri dan menghasilkan produk dengan cara kerja dan tingkat akurasi serta efisiensi ganda. Berbeda dengan revolusi industri yang hanya mentransformasi mekanisme sistem kerja handbook ke tenaga mesin, kini revolusi digital menggeser bahkan menghapus otoritas manusia menuju algoritma. Banyak sekali bidang-bidang yang mana kecerdasan buatan jauh lebih kreatif dan efektif dalam melakukan tugasnya daripada manusia, dimana ia mampu membuat sesuatu yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh manusia itu sendiri sebelumnya, dan fungsinya akan terus meluas ke dalam banyak bidang di waktu yang akan datang.
Pemanfaatan kecerdasan buatan telah menandai period baru industri digital tentang bagaimana manusia berpikir, bekerja dan berbisnis sekaligus mengubah nilai nilai yang tertanam di masyarakat secara masif. Kekuatan teknologi ini telah mengubah wajah dunia dari mulai keuangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan menyeluruh ke segala aspek kehidupan. Dimensi baru yang dihidupkan oleh algoritma telah memandu, memprediksi dan memberikan saran untuk menentukan langkah-langkah taktis dalam produktivitas pekerjaan manusia, membuat performa berbagai industri meningkat tajam, memangkas waktu kerja, membentuk sistem produksi yang cerdas, berkelanjutan, dan tahan banting yang belum pernah tercapai sebelumnya dengan biaya yang lebih sedikit. Ia secara cepat mempelajari cara orang berperilaku di web, menyedot milyaran informasi tentang bagaimana orang berinteraksi di media sosial, ia menjadi sangat pandai mengamati dan memproses pola seperti manusia pada umumnya. Kelebihannya ialah daya ingatnya yang tidak akan pernah berkurang, dan ia selalu memperbaiki diri dari pengalamannya yang selalu tersimpan dalam memori.
Kemampuan AI meningkat dua kalinya setiap bulan, Kurzweil, 2008 menyebutkan dalam sebuah gagasan populernya bahwa AI akan menyentuh titik singularitas pada tahun 2045, itu artinya ada kemungkinan AI akan mampu menyamai otak manusia bahkan dengan cepat mendesain ulang dirinya melebihi manusia. Prediksi ini berbanding terbalik dengan manusia pada umumnya yang semakin banyak informasi yang diberikan semakin sering lupa alias rentan pikun. Dalam perkembangannya kini AI akan terus berlanjut mendorong inovasi yang tak terbatas, mengubah cara kita berfikir, berinteraksi, bekerja dan bahkan cara kita mengambil keputusan. Tak terelakan lagi inilah yang kemudian akan menjadi cikal bakal paradigma baru bagi generasi yang akan datang, bukan tidak mungkin kecerdasan buatan akan menjadi hambatan manusia dalam mencari pekerjaan bahkan hilangnya jenis pekerjaan tertentu. Ananda, 2023 menyebutkan meskipun inovasi baru merupakan suatu hal yang kreatif namun hadirnya bisa membuat hal yang ada tergantikan, menghilang bahkan mati. Disrupsi mungkin akan menghilangkan lapangan pekerjaan yang sudah ada, tetapi adanya disrupsi juga dapat menciptakan lapangan kerja baru.
Perusahaan konsultan multinasional McKinsey International Institute (Mckinsey & Firm, 2019) memprediksi bahwa otomatisasi pada tahun 2030 akan mengakibatkan sekitar 800 juta pekerjaan hilang. Begitupula yang dilaporkan World Financial Discussion board yang mengatakan hingga tahun 2025 sekitar 85 juta pekerjaan kemungkinan besar akan tergantikan oleh AI. Namun disisi lain dalam laporan tersebut menyatakan bahwa AI juga akan mendorong penciptaan 97 juta lapangan kerja baru. (Republika, 2024). Sekalipun terdapat gagasan bahwa jika profesi lama pada waktunya telah usang, maka akan terdapat profesi baru yang menggantikannya, tidak ada yang menjamin bahwa hukumnya akan selamanya berjalan demikian.
Di Indonesia sendiri sentimen masyarakat terhadap masa depan dunia pekerjaan di period perkembangan AI didominasi kekhawatiran generasi muda terhadap daya saing dan kompetensi dalam mencari pekerjaan. Dalam Chairunnisa, 2023 menyebutkan sebanyak 55 persen responden menyatakan bahwa mereka khawatir pekerjaan mereka akan dirampas dan digantikan oleh AI, hal ini didukung tingginya tingkat pengangguran saat ini dimana orang pada rentang umur 15–24 tahun atau generasi Z kini menjadi persentase terbanyak yang berada dalam kategori Not in Employment, Training and Coaching (NEET) atau tidak bersekolah, tidak bekerja, dan tidak sedang mengikuti pelatihan. BPS mencatat bahwa dari complete 44,47 juta jiwa terdapat sekitar 9,9 juta generasi Z tidak terlibat dalam kegiatan produktif apapun, ini merupakan persentase paling dominan daripada rentang usia yang lain. (Kompas, 2024). Sayangnya hal ini kontradiktif dengan goal Indonesia emas 2045 yang mana salah satu pilarnya pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu bagaimana wajah Indonesia ketika manusianya tersesat dan gagal mengikuti pattern pasar, kehilangan bahkan tak bisa lagi mendapatkan pekerjaan karena tidak adanya hyperlink and match atau tiadanya keterkaitan antara pembelajaran di sekolah dengan kebutuhan dunia industri saat ini dimana segala interaksinya sudah dipenuhi mesin-mesin bionik? Mari kita berpikir lebih jauh.
Dalam sebuah monolognya di sosial media, Yuval noah harari, 2020 mengatakan bahwa kemungkinan paling buruk akibat dari berkembangnya kecerdasan buatan yaitu munculnya kelas sosial baru dimana umat manusia di masa depan kehilangan fungsinya dalam masyarakat karena tugasnya digantikan oleh kecerdasan buatan yang ia sebut ineffective class dimana isinya lebih dari sekedar pengangguran, namun pengangguran tak berguna yang benar-benar tak memiliki kemampuan yang dibutuhkan pasar, karena pekerjaan tradisional sudah ditinggalkan sementara pekerjaan manusia trendy yang lebih terstruktur tidak mampu dikuasai maka dominasi AI adalah jawaban yang akan mengisi ruang-ruang kosong tersebut.
Kecerdasan Buatan memang menawarkan kemudahan namun belum tentu membawa keuntungan apalagi kalau tidak disikapi dengan bijaksana. Siapapun akan tertinggal kalau hanya fokus pada sistem kerja tradisional. Sudah sepatutnya generasi muda melihat kecerdasan buatan sebagai tantangan untuk berani keluar dari zona aman karena kini batasan industri sudah tidak lagi relevan, mau tidak mau suka tidak suka kecerdasan buatan sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia kini dan nanti, tidak bisa memanfaatkan kecerdasan buatan berarti harus menerima resiko kesulitan akses diberbagai bidang kehidupan termasuk pekerjaan.
Padahal kalau kita ingat-ingat keunggulan manusia dari makhluk lain adalah akal pikiran, sedangkan mesin dibuat manusia dan dirancang untuk berinovasi sesuai pola yang telah ditanam dalam sistemnya tanpa ada akal, perasaan dan kreatifitas. Tapi kini cara kerja manusia dan jenis pekerjaan tertentu terancam mesin buatan sendiri. Bahkan sekarang bermunculan program yang bisa membuat kita terlena, terkagum-kagum bagaimana mesin bisa menaksir akal pikiran kita, mengenali wajah kita, membuat ilustrasi dalam hitungan detik, membuat buku dalam sekejap, bahkan dapat meramalkan ketertarikan kita terhadap sesuatu hanya berdasarkan pola kecenderungan kita dalam berselancar didunia maya. Lalu apakah pekerja seni, penulis, bahkan pelukis juga akan kehabisan pekerjaan dimasa yang akan datang? Entahlah, mari menyelami permasalahan ini lebih dalam.
Kepunahan umat manusia
Komputer dibuat untuk membantu pekerjaan manusia, ia dirancang untuk menjalankan proses yang sama seperti otak manusia secara mekanistik berdasarkan algoritma tertentu. Namun sukses besar pasar digital dalam pengembangan kemampuan AI ternyata tak selalu berjalan lurus, ada pula resiko penyalahgunaan yang menjadi sebuah konsekuensi atas pengembangan teknologi. Ketika program komputer biasa mengandalkan manusia dari enter, proses sampai output maka AI hanya butuh enter dan output karena prosesnya di deal with oleh persamaan matematis yang dibiarkan berkembang dengan sendirinya tanpa kita ketahui detailnya, hal inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai bias AI, dimana memungkinkan mesin salah mengidentifikasi sehingga menghasilkan keputusan yang diskriminatif dan berpotensi melanggar HAM yang jelas melawan prinsip etika. Sebagai contoh pengenalan wajah oleh AI yang digunakan lembaga tertentu untuk mencari dalang kejahatan, di kemudian hari mungkin saja AI salah mendeteksi wajah hanya karena wajahnya mirip dengan database pelaku kejahatan. Ahmad Najib Burhani, 2023 menyebutkan bahwa AI bisa saja dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan bisnis. AI disebut-sebut memiliki ideologi sendiri, paling tidak dipengaruhi oleh orang yang mendesainnya atau knowledge yang tersebar di masyarakat.
AI juga rawan dieksploitasi oleh pelaku kejahatan melalui deepfake, disinformasi, dan yang lebih menakutkan AI bahkan meningkatkan resiko ancaman kepunahan manusia di masa depan gara-gara manusia tidak bisa mengontrolnya, hal ini telah diwanti-wanti ilmuwan, berbagai tokoh dunia, serta aktor utama AI sendiri yaitu Geoffrey Hinton dan Yoshua Bengio yang pernah memenangkan Turing Award tahun 2018 atas karyanya di bidang pembelajaran mendalam, menandatangani sebuah pernyataan sikap dalam surat terbuka yang isinya bahwa AI meningkatkan resiko kepunahan manusia sejajar dengan pandemi dan bom nuklir, lebih dari sosial media dan konflik yang ditimbulkannya pada masyarakat sehingga harus menjadi prioritas dunia dalam rangka mengurangi resiko kepunahan umat manusia dimasa yang akan datang (BBC, 2023). Lantas mungkinkah bencana terbesar di masa depan akan menjadi sebuah titik kejut bagi umat manusia bahwasanya program buatan manusia akan menggantikan peran manusia itu sendiri jauh melebihi apa yang ada dalam kepala manusia. Transformasinya hanya tinggal menunggu waktu saja untuk disulap menjadi benar-benar seperti manusia.
Akan ada semakin banyak pihak yang tentu cemas dengan potensi risiko pengembangan kecerdasan buatan ini, seberapa parah resikonya, bagaimana cara mitigasinya, hingga siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas risiko keamanan yang muncul harus segera diteliti lebih lanjut dan didiskusikan dalam bahasan di forum-forum dunia. Barangkali, yang patut kita lakukan ialah memastikan bahwa penggunaan AI bekerja sejalan dengan nilai-nilai dalam masyarakat serta mendorong terjalinnya kerjasama antara pemerintah, industri dan dunia pendidikan dalam menciptakan strategi yang cerdas dan tepat kedepannya.
Hidup kita sudah sangat bersinggungan dengan kecerdasan buatan apalagi bagaimana kita berinteraksi di sosial media akan semakin mendisrupsi gaya hidup kita di masa depan. Kemudian kita pelan-pelan akan semakin bergantung, lalu kesulitan hidup tanpanya. Ini berkah sekaligus kutukan. Apa yang diramalkan movie bisa saja terjadi, mesin menjelma dan dapat hidup layaknya manusia, bahkan bisa berpikir sendiri dan mengendalikan dirinya sendiri layaknya sesosok makhluk. Apabila dipikir lebih liar lagi, jangan-jangan manusia sendiri juga merupakan sebuah AI yang dirancang, dibuat dan dikendalikan oleh si-empunya yang tentu saja lebih berkuasa, lebih hebat, lebih kuat.
Teknologi akan selalu membawa potensi destruktif bagi manusia apabila tidak dikelola dengan semestinya. Risiko penggunaan AI menjadi tantangan terbesar yang dapat berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada seluruh lini kehidupan. Diharapkan kecerdasan buatan ini dapat bekerja berdampingan tanpa menggantikan peran manusia dengan cara yang lebih sinergis. Pengembangan kecerdasan buatan dimasa yang akan datang memungkinkan lebih dari sekedar ancaman bagi dunia kerja bahkan mungkin akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pertanyaannya bukan apakah namun ialah tentang kapan dan bagaimana semuanya akan terjadi.